Sesungguhnya kami telah memberikan ni’mat kepadamu yang banyak
Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorbanlah
Sesungguhnya orang orang yang membencimu, dialah yang terputus
(QS al Kautsar 1-3)
Setiap hari besar
dalam Islam pastilah mengandung hikmah kemuliaan untuk ditransformasikan dalam
Kehidupan, demikian pulalah dengan hari raya ‘iedul adha, sebagai salah satu
diantara dua hari raya yang secara syar’i dikabarkan oleh Rasulullah SAW.
Setelah lewat Ramadhan 1434 H sebagai pusat tarbiyah spiritual , diikuti dengan
munculnya hilal syawal sebagai lambang masuknya kita ke dalam syawal sebagai
bulan peningkatan secara maknawi dan bulan peng-aplikasian nilai nilai
Ramadhan, maka saat ini jutaan kaum muslimin berkumpul di dua tanah suci Makah
– Madinah untuk melaksanakan rukun ke lima yakni ibadah haji, sedangkan milyardan
kaum muslimin lainnya yang tersebar di berbagai negara menjalankan “kewajiban
Kurban” dengan cara menyembelih binatang qurban, untuk kemudian didistribusikan
kepada siapa saja yang memiliki “hak” atasnya.
Ada banyak ibrah
dan hikmah yang bisa kita ambil dari peristiwa bersejarah ini. Diawali dari
keluarga Ibrahim AS yang dianugerahi oleh Allah SWT putra melalui rahim
sayyidah Hajar, wanita yang terangkat derajatnya atas perintah Allah kepada
Ibrahim AS untuk menikahinya, dari seorang wanita yang berstatus hamba sahaya
menjadi ibunda Nabiullah Ismail AS, yang kelak dari keturunan tersebut
terlahirlah Muhammad SAW.
Dalam
keyakinan apapun, berkurban untuk
sesuatu yang kita cintai merupakan sebuah kewajaran kalau tidak boleh dibilang
keniscayaan, tidak ada satupun di atas bumi Allah ini yang kita dapatkan tanpa
“membayar harganya”, dalam arti pasti ada sebab akibat yang mengikuti
sunatullah dan ketetapan Allah atas peristiwa tersebut. Sebutan Khalilullah –
yang berarti kekasih Allah bagi Ibrahim AS pun mengharuskan “bayaran tersebut”.
Dalam banyak literatur yang membincangkan peristiwa ini , disebutkan bahwa
Ibrahim AS mendapatkan wahyu melalui mimpi beliau yang terjadi secara berulang,
sehinga dimaknai sebagai perintah Allah yang memang harus dilaksanakan. Posisi
Ibrahim sebagai ayah tidak kemudian menjadikan beliau mendominasi setiap
keputusan atas sang putra Ismail AS, apatah lagi yang menjadi obyek mimpi
beliau adalah sang putra – Ismail AS, di sinilah kita disuguhi “drama” kearifan
seorang ayah atas putranya.
Ibrahim
AS mendiskusikan wahyu yang memiliki nilai kebenaran absolut tersebut kepada
sang putra , dan dialog yang sangat indah tersebut di badaikan oleh Allah dalam
alquranul kariim sebagai berikut :
“
maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama sama Ibrahim,
Ibrahim berkata ‘ Hai anakku, aku meliahatmu dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu, maka fikirkan apakah pendapatmu ‘?, Ia menjawab, ‘wahai ayahku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah engakau akan mendapatiku
sebagai hamba yang sabar”
(QS
Ashaffat : 102)
Subhanallah, di
saat hari ini banyak orang tua mengunakan kekuatan otoritasnya atas anak anak
mereka untuk kepentingan diri, kehormatan pribadi serta egoisme, justru kita
bisa melihat Ibrahim telah menunjukkan diri sebagai orang tua yang sangat smart
dalam mendidik dan mengawal sang putra untuk tumbuh sebagai pecinta Allah SWT.
Dan lihatlah sikap Ismail AS muda, yang dengan santun menyikapi pertanyaan sang
ayah dengan menyandarkan jawabannya kepada aqidah dan keimanan yang sangat
kokoh, dan tentu sikap Ismail tsb tidaklah terlepas dari proses pendidikan yang
dilakukan oleh sayyidah Hajar sang bunda yang memang menjadi pendidik dan
pendamping utama karena sang ayah harus hidup ditempat yang berjarak 1300 km
darinya (bersama sayyidah Sarah dan Ishaq AS sang putra).
Pengorbanan
Ibrahim AS dan kesabaran Ismail seakan menjadi momen historis yang seharusnya
senantiasa dikenang oleh kaum muslimin, yang kemudian diaplikasikan dalam
kehidupan nyata. Kecintaan Ibrahim tampak didominasi oleh sifat kehambaan yang
tulus kepada Allah SWT, sehingga menempatkan perintahNya jauh di atas
kecintaannya kepada makhluq (istri, anak, hrta dll), termasuk sang putra Ismail
AS, meski pada akhir cerita kita dapatkan sang maha Rahman – Allah SWT kemudian
menggantinya dengan seekor domba, sungguh..Allah semata hendak menguji
kelayakan sang nabi untuk mendpatkan julukan kekasih Allah – Khalilullah, dan
terbukti benar kaena Ibrahim berhasil memposisikan rasa cintanya secara shahih.
Aplikasi Qurban di masa ini
Jika
Ibrahim AS dimasa itu berhasil lulus dari ujian Allah terkait dengan takaran
kecintaan kepada-Nya, maka hari inipun, sebenarnya kita dihadapkan kepada
realitas yang hampir sama, meski dengan wujud fisik yang berbeda. Hari raya
kurban memang selalu identik dengan disembelihnya domba, onta atau lembu, akan
tetapi ada hikmah besar yang kadang tidak terjangkau oleh kebanyakan kaum
muslimin, sehingga pemaknaan iedul adha menjadi sangat dangkal, karena tidak
pernah sampai pada nilai nilai yang sesungguhnya...seakan hari raya qurban
hanya sampai pada iuran pembelian kambing atau lembu di masjid masjid yang
nantinya akan dibagikan kepada fuqara masakin ataupun yang lain.
Meski yang
demikian ini tidaklah salah karena unsur empati yang terekstraksi dari
peristiwa tersebut juga menjadi pembelajaran kita semua, akan tetapi seharusnya
kita juga mendapatkan sisi pemaknaan
yang lebih dalam sekaligus menjadi renungan bersama untuk meningkatkan
kualitas kehambaan kita dihadapan-Nya
Karena , Sungguh
setiap kita pastilah memiliki Ismail- Ismail dalam kehidupan ini, sesuatu yang
amat Sangat kita cintai, bisa harta, kedudukan, keluarga, perniagaan dll yang
kesemuanya seringkali menyita waktu dan pikiran kita, sehingga melalaikan diri
ini pada hakikat penghambaan hanya kepada-Nya.
Tengoklah orang
orang yang menjadikan jabatan dan status sosial sebagai Tuhan dalam kehidupan
mereka, orang orang seperti ini akan memforsir seluruh potensi hidup yang
dianugerahkan oleh Allah untuk mengejar nama besar, status sosial, pangkat
jabatan dengan menghalalkan segala cara. Suap sana sini untuk menjadi pejabat,
anggota dewan, kepala daerah dll tanpa pernah meyakini adanya balasan setelah
kematian.
Pangkat, jabatan telah menutupi nurani dan
fitrahnya, menjadikan dalil dalil agama sebagai legislasi semu dari tindakan
mereka, demikian pula dengan para pemuja harta, apapun akan dilakukan untuk
memperbanyak pundi pundi depositnya, meski Allah melarang dan membencinya.
Bagi mereka kampung akhirat hanya khayalan
para agamawan, ustadz atau mubaligh (meski tidak semua ustadz/kiyai bisa bebas
dari fitnah ini) yang tidak harus diyakini, dan bagi hamba hamba seperti ini
hanya kematianlah yang akan bisa menghentikan ketamakannya.
Inilah
Ismail-ismail kita dalam kehidupan kontemporer ini, yang seharusnya “kita
sembelih” untuk menunjukkan kecintaan kita kepada Allah SWT. Menyembelih dalam
makna, mendudukkan mereka secara proporsional, harta boleh dicari untu ditebar
dan termanfaatkan secara benar, terbagi atas siapapun yang memiliki hak
atasnya, demikian pula dengan tahta atau jabatan, yang memiliki nilai hakiki
sebagai amanah yang seharusnya kita jaga sebagaimana kehendak yang memberi
amnah tersebut (bukan rakyat, tetapi Allah, karena kadang kehendak mayoritas
justru bertentangan dengan syari’at Allah SWT).
Buah Ramdhan yang diikuti dengan penguatan
dan peneguhan selama enam hari dibulan syawal, harusnya menjadikan kita mampu
berada pada posisi mencintai-Nya, lebih dari mencintai makhluq-Nya.
Kiranya semangat pengorbanan yang terpatri
di bulan ini, menambah kedekatan kita kepada Allah SWT dan kecintaan kita
atas-Nya..amiin ya Rabbal’alamiin.
(Penulis adalah Trainer Utama SBC Kediri
dan pengasuh rubrik SAMARA di Radio Jayabaya FM)
Follow us https://twitter.com/majalahpedulium
Like us Majalah Peduli Umat
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !