Rubrik diasuh oleh Ust. Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Ustadz,
bolehkah daging kurban dibuat kornet atau dibuat abon daging qurban dengan alasan supaya tahan lama kemudian
didistribusikan setelah melewati hari tasyriq?
(Isykariema, Bandung).
Jawab :
Daging
kurban boleh dikornetkan atau dibuat abon, selama terdapat hajat (kebutuhan),
misalnya adanya kaum muslimin yang miskin, kelaparan, tertimpa bencana, dan
semisalnya. Namun disyaratkan, penyembelihan hewan kurban yang dikornetkan
tidak boleh melampaui batas akhir waktu penyembelihan, yaitu waktu maghrib
tanggal 13 Zulhijjah (hari tasyriq terakhir).
Dalil
bolehnya mengkornetkan antara lain dipahami dari sabda Nabi SAW,"Wahai penduduk Madinah, janganlah
kamu memakan daging kurban di atas tiga hari." Lalu orang-orang
mengadu kepada Nabi SAW, bahwa mereka mempunyai keluarga, kerabat, dan
pembantu. Maka Nabi SAW bersabda,"[Kalau begitu] makanlah, berikanlah,
tahanlah, dan simpanlah!" (HR Muslim; Imam Nawawi, Syarah Muslim,
5/115).
Hadis ini
menunjukkan, boleh tidaknya menyimpan (iddikhar) daging kurban,
bergantung pada 'illat (alasan penetapan hukum), yaitu ada tidaknya
hajat. Jika tidak ada hajat, tidak boleh menyimpan. Jika ada hajat, boleh. Imam
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 6/48 berkata,"Larangan menyimpan daging
kurban tidaklah di-nasakh (dihapus), melainkan karena ada suatu 'illat.
Jika 'illat itu hilang, larangan hilang. Jika illat itu ada lagi, maka
larangan pun ada lagi."
Dengan
demikian, boleh menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, jika ada hajat.
Kalau hajat ini tidak ada, tidak boleh menyimpan. Nah, kebolehan menyimpan (iddikhar)
daging kurban lebih dari tiga hari inilah, menurut kami, menjadi dalil bolehnya
mengkornetkan daging kurban. Sebab tujuan dari mengkornetkan dan menyimpan
adalah sama, yaitu agar daging dapat tahan lama dan dapat dikonsumsi lebih dari
tiga hari. Tentu kebolehan ini adalah selama ada hajat, misalnya masih adanya
kaum muslimin yang miskin, menderita kelaparan, jarang makan daging, tertimpa
bencana, dan sebagainya. Sebaliknya jika tidak ada hajat, maka mengkornetkan
daging kurban tidak boleh, karena ada larangan menyimpan daging kurban lebih
dari tiga hari.
Adapun
persyaratan bahwa penyembelihan harus tetap pada waktunya (tanggal 10-13
Zulhijjah) dan tidak boleh melampauinya, dalilnya adalah sabda Nabi SAW,"Setiap
sudut kota Makkah adalah tempat penyembelihan dan setiap hari-hari tayriq
adalah [waktu] penyembelihan." (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi,
Thabrani, dan Daruquthni). (Syaikh Al-Albani berkata,"Hadis ini
sahih." Lihat Shahih Al-Jami` Ash-Shaghir, 2/834). Imam Syafi'i
dalam Al-Umm 2/222 berkata,"Jika matahari telah terbenam pada akhir
hari-hari tasyriq [tanggal 13 Zulhijjah], lalu seseorang menyembelih kurbannya,
maka kurbannya tidak sah."
Jadi,
jelaslah meski mengkornetkan boleh, namun disyaratkan penyembelihannya tetap
dilakukan pada waktunya, yaitu bermula dari usainya sholat Idul Adha hingga
datangnya waktu maghrib pada akhir hari tasyriq. Jika penyembelihan melampaui
batas tersebut, kurbannya tidak sah, sehingga daging kornet pun hanya dianggap
daging kalengan biasa, bukan pelaksanaan ibadah kurban. Wallahu a'lam [
]
Tanya :
Ustadz,
bolehkah menyembelih qurban untuk orang yang sudah meninggal? (Ratna,
Lampung)
Jawab
:
Ada
khilafiyah mengenai hukum berqurban bagi orang yang sudah meninggal (al-tadh-hiyyah
'an al-mayyit). Ada tiga pendapat. Pertama, hukumnya boleh baik ada wasiat
atau tidak dari orang yang sudah meninggal. Ini pendapat ulama mazhab Hanafi,
Hambali, dan sebagian ahli hadits seperti Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi.
Kedua, hukumnya makruh. Ini pendapat ulama mazhab Maliki. Ketiga, hukumnya
tidak boleh, kecuali ada wasiat sebelumnya dari orang yang meninggal. Ini
pendapat ulama mazhab Syafi'i. (Hisamuddin Afanah, Al-Mufashshal fi Ahkam
Al-Udhhiyah, hlm. 158; M. Adib Kalkul, Ahkam Al-Udhhiyah wa Al-Aqiqah wa
At-Tadzkiyah, hlm. 24; Nada Abu Ahmad, Al-Jami' li Ahkam Al-Udhhiyah, hlm. 48).
Pendapat
pertama berdalil antara lain dengan hadits Aisyah RA bahwa ketika Nabi SAW akan
menyembelih qurban, beliau berdoa,"Bismillah, Ya Allah terimalah [qurban]
dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad." (HR Muslim
no 3637, Abu Dawud no 2410, Ahmad no 23351). Hadits ini menunjukkan Nabi SAW
berqurban untuk orang yang sudah meninggal. Sebab beliau telah berqurban untuk
keluarga Muhammad dan umat Muhammad, padahal di antara mereka ada yang sudah
meninggal. (Hisamuddin Afanah, ibid., hlm. 161).
Pendapat
kedua beralasan tidak ada dalil dalam masalah ini, sehingga hukumnya makruh.
(Hisamuddin Afanah, ibid., hlm. 164). Sedang pendapat ketiga berdalil antara
lain dengan firman Allah SWT (artinya),"Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS An-Najm [53] :
39). Juga dengan hadits Hanasy RA bahwa ia melihat Ali bin Abi Thalib RA
menyembelih dua ekor kambing, lalu Hanasy bertanya,"Apa ini?" Ali
menjawab,"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah berwasiat kepadaku untuk
berqurban untuknya, maka akupun menyembelih qurban untuk beliau." (HR Abu
Dawud no 2408, Tirmidzi no 1415). Hadits ini menunjukkan bolehnya berqurban
untuk orang yang sudah meninggal jika dia berwasiat. Jika tidak ada wasiat
hukumnya tidak boleh. (Imam Nawawi, Al-Majmu' 8/406; Nihayatul Muhtaj 27/231,
Mughni Al-Muhtaj 18/148, Tuhfatul Muhtaj 41/170).
Yang
rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat pertama. Sebab lafazh "umat
Muhammad" dalam hadits Aisyah RA adalah lafazh umum, sehingga mencakup
semua umat Muhammad, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, baik
yang meninggal berwasiat atau tidak. Imam Shan'ani berkata,"Hadits ini
menunjukkan sahnya seorang mukallaf melakukan perbuatan taat untuk orang lain,
meskipun tidak ada perintah atau wasiat dari orang lain itu." (Imam
Shan'ani, Subulus Salam, 4/90).
Pendapat
ketiga yang mensyaratkan wasiat, didasarkan pada mafhum mukhalafah. Artinya,
jika Ali RA sah berqurban untuk Nabi SAW karena ada wasiat, maka kalau tidak
ada wasiat hukumnya tidak sah. Mafhum mukhalafah ini tidak tepat, karena
bertentangan dengan hadits Aisyah yang bermakna umum. Imam Taqiyuddin
an-Nabhani berkata,"Mafhum mukhalafah tidak diamalkan jika ada nash
Alquran dan As-Sunnah yang membatalkannya." (Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah,
3/200).
Kesimpulannya,
boleh hukumnya menyembelih qurban untuk orang yang sudah meninggal dunia, baik
ada wasiat maupun tidak darinya. Wallahu a'lam. Follow us https://twitter.com/majalahpedulium Like us Majalah Peduli Umat
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !