
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Petang hampir sirna.
Berganti serinai malam yang perlahan jatuh di altar langit. Adzan Maghrib baru
berkumandang di sejumlah masjid dan mushala. Tanda bulan suci Ramadhan baru
berakhir dan malam lebaran akhirnya tiba.
Gema takbir membahana dan tahmid menggema dari segenap
penjuru kampung. Namun, suara takbir dan tahmid itu serasa tak menyentuh kalbu
Sumadi (36 tahun, bukan nama sebenarnya).
Ia sepertinya tak peduli dengan hari lebaran, hari di
mana umat Islam dianugerahi kemenangan usai menunaikan ibadah puasa selama
sebulan. Ia hanya duduk diam, tercenung di teras rumah dengan memegang botol
minuman keras. Pandangannya kosong menatap langit. Sorot matanya menerawang
jauh, seakan melihat dunia lain yang lebih menyenangkan.
Di saat seluruh umat Islam bersuka cita menyambut hari
kemenangan dengan takbir dan tahmid, lelaki itu meninggal dunia begitu
mengenaskan. Lidahnya menjulur dan matanya melotot. Jenazahnya pun terus
berbalik arah ketika akan dimakamkan.
Melihat Sumadi duduk termangu seraya menenggak minuman
keras, Surti (30 tahun, bukan nama sebenarnya), istri Sumadi hanya mengelus
dada. Dia sempat menggeleng-gelengkan kepala, melihat ulah suaminya yang tak
peduli dengan suara takbir yang berkumandang dari sejumah masjid dan mushala.
Dia tak habis pikir dan terheran-heran kenapa suaminya
masih terus menenggak minuman keras di malam Idul Fitri.
“Mas, malam lebaran bukannya merayakan dengan tabiran
kok malah minum!?” sungut istrinya
“Kamu itu ngomong apa? Memangnya kenapa jika aku minum?
Apa gak boleh?” protes Sumadi, enteng.
“Mas semestinya pergi ke masjid, ikut takbiran,
bukannya mabok...!”
Sumadi diam saja, tidak menjawab. Otaknya seperti
digelayuti hawa panas; akibat reaksi alkohol yang mengalir ke ubun-ubun.
Melihat ulah Sumadi yang cuek dengan keadaan sekitar membuat Surti kesal dan
kecewa.
Apalagi, Sumadi sudah lama memiliki kebiasaan minum
yang tak kunjung henti. Kendati demikian, Surti masih berharap agar suaminya di
malam lebaran itu mau menghormati hari kemenangan umat Islam tersebut.
Bahkan, tidak sedikit orang yang meneteskan air mata di
malam lebaran, karena merasa sedih ditinggal pergi bulan suci Ramadhan, bulan
yang penuh berkah dan maghfirah.
Karena kesal, Surti akhirnya masuk ke dalam rumah.
Sayang, protes diam Surti itu lagi-lagi tidak menghentikan kebiasaan buruk
Sumadi. Ia justru merasa tidak ada lagi yang mengusik lagi. Ia kembali
menenggak botol minuman keras yang ada di tangannya.
Setelah itu, ia tersenyum seakan meraih kemenangan yang
tiada tara karena merasa melayang dan terbang ke angkasa biru. Padahal
kemenangan yang dicecap Sumadi itu adalah kemenangan semu.
Setelah lama berjibaku dengan minuman keras, Sumadi
seperti dicekam perasaan kesepian. Apalagi, ia sudah diprotes oleh Surti.
Karena rasa sepi, sendiri dan sunyi itulah akhirnya ia memutuskan keluar rumah.
Ia lalu berjalan dengan langkah sempoyongan, menyusuri jalan.
Bau alkohol yang menyeruak dari mulutnya, bergumul
dengan aroma bau tubuhnya yang tidak sedap. Sesekali ia terhuyung, hampir
jatuh; tetapi kedua kakinya masih bisa meniti jalan dengan benar, tidak sampai
terpeleset ke selokan jalanan.
Sewaktu berjalan terhuyung-huyung itu, Sumadi sempat
berpapasan dengan tetangga yang sudah kenal akrab dengannya. “Lebaran kok masih
juga mabok? Nanti bisa ditarik malaikat loh...!” ujar sang tetangga,
mengingatkan.
Dasar Sumadi sudah gelap mata dan hatinya telah karat,
ia justru menjawab sengit, “Halahhhh, malaikat apaan!”
Tidak ada basa-basi untuk berhenti sejenak, saling
menyapa dengan baik apalagi mengucap salam, Sumadi malah meneruskan jalannya
yang goyah. Sementara, tetangganya yang tadi menyapa malah berjalan ke arah
masjid.
Di jalanan kecil dari rumahnya itu, Sumadi terus
melangkah seperti kunang-kunang yang terbang tak tentu arah. Kendati demikian,
Sumadi masih bisa menyusuri jalanan ke sebuah tempat, dimana dia dan
teman-temannya biasa kumpul untuk nongkrong.
Di tempat tongkrongan itu, ketiga temannya sudah lebih
dulu datang dan menunggu kedatangan Sumadi. Tanpa banyak bicara, ia lalu
mengambil papan dadu dan mereka pun langsung bermain dadu diselingi minum
minuman keras.
Lidah Menjulur dan Mata Melotot ...
Gema takbir masih terus berkumandang, sesekali diiringi
tabuhan bedug yang dipukul bertalu-talu, membuat suasana lebaran kian semarak.
Tetapi, Sumadi dan ketiga temannya itu tidak peduli dengan gema takbir
tersebut, mereka justru bermain dadu dan menenggak alkohol.
Tiba-tiba, tepat menjelang Isya`, tubuh Sumadi
gemetaran. Sebetulnya, ia ingin melanjutkan permainan dadu dan menenggak
alkohol lagi. Tetapi, tubuhnya yang sudah dimasuki minuman sejak dari rumah
seperti tidak kuat menanggung beban berat yang dipikulnya.
Tanpa dinyana-nyana oleh ketiga temannya, ia tiba-tiba
diterpa ketidakberdayaan dan lemah dalam seketika. Tubuh Sumadi gemetaran.
Lidahnya menjulur-julur. Mata terbelalak.
“Ah payah, kamu ini…baru minum segitu aja sudah mabok
dan tidak kuat,“ ledek temannya, seraya menyenggol tubuh Sumadi. Tetapi, tubuh
Sumadi sudah benar-benar lemas dan tidak berdaya, hingga ia tersungkur ke
tanah.
Teman-teman Sumadi masih merasa tidak percaya dengan
apa yang terjadi dan bahkan menyangka bahwa Sumadi sedang berpura-pura mabuk.
Tetapi Sumadi tetap diam tidak berkutik, apalagi
bangkit lagi untuk bermain dadu. Sumadi tetap terkapar, tidak mampu bangun
kembali. Berikutnya, ia malah kejang-kejang. Lidahnya menjulur, kedua matanya
tiba-tiba melotot. Seseorang dari mereka kemudian memeriksa kondisi tubuh
Sumadi, dan orang itu merasa bahwa tubuh Sumadi mengalami panas cukup tinggi.
“Sumadi, ada apa denganmu?” tanya salah seorang
temannya seraya mengguncang-guncang tubuh Sumadi yang sudah kaku. Sumadi nyaris
tidak bergerak..
Melihat tak ada tanda-tanda Sumadi bisa bangun, apalagi
bangkit untuk berdiri, ketiganya kemudian membopong tubuh Sumadi untuk diantar
ke rumah. Karena tidak ada tanda-tanda Sumadi kembali bernafas normal, akhirnya
pihak keluarga melarikan Sumadi ke rumah sakit.
Sayangnya, Sumadi tidak bisa diselamatkan. Di tengah
perjalanan ke rumah sakit itu, Sumadi menghembuskan nafas terakhirnya. Sumadi
tidak bisa bangun lagi untuk selama-lamanya.
Sumadi, lelaki warga kampung Semangka (bukan nama
sebenarnya), sejatinya bukan dikenal sebagai seorang pemabuk berat. Mengingat
ia hanya seorang buruh bangunan dengan penghasilan yang tidak seberapa besar.
Apalagi, dari hasil perkawinannya dengan Surti,
keduanya melahirkan dua orang anak yang masih membutuhkan banyak biaya untuk
sekolah.
Tidak mustahil, jika kehidupan rumah tangga Sumadi
tergolong biasa-biasa saja dan tidak ada hal yang mengagumkan. Mungkin, bisa
dikata tergolong miskin. Sebagai buruh bangunan, tentunya tidak setiap hari
Sumadi mendapat kontrak kerja sebagai buruh bangunan.
Nahasnya, kemiskinan ini makin diperparah dengan
kebiasaan minumnya. Sesuatua yang oleh agama harus dijauhi oleh siapapun tanpa
pandang bulu.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah [5]: 90-91)
Kaki Terbalik ...
Keesokan harinya, tepat di hari Idul Fitri, jenazah
Sumadi dikebumikan. Pihak keluarga dirundung duka. Mereka tidak menyangka jika
Sumadi harus meninggal di usia yang belum tergolong tua apalagi lanjut usia.
Tidak mustahil, kalau meninggalnya Sumadi itu dianggap
janggal karena ia meninggal tidak dalam kondisi normal, melainkan akibat
minuman keras.
Tapi, kejanggalan lain ternyata masih menghimpit
prosesi pemakaman Sumadi dan itu terjadi ketika penggali kubur mengalami
kesulitan saat menggali liang lahatnya. Sewaktu liang kubur Sumadi digali,
tanah liang kuburnya dipenuhi akar-akar pohon.
Padahal, di sekitar liang lahat Sumadi itu sama sekali
tidak ada pohon besar. Akar-akar pohon yang cukup menyulitkan itu, akhirnya,
membuat liang lahat Sumadi digali tidak cukup dalam.
Cerita keanehan tidak berhenti di situ. Saat jenazahnya
siap dimasukkan ke liang lahat, tiba-tiba kejadian aneh terjadi lagi.
“Astaghfirullah.....!” pekik Ustadz Khalid (50 tahun,
bukan nama sebenarnya) terkaget begitu tutup kerandanya dibuka. Karena, ia
menjumpai posisi jenazah terbalik di mana kepala yang seharusnya terletak di
sebelah Utara, ternyata terbalik ada di sebelah Selatan.
Padahal, ketika berangkat dari rumah duka, semua yakin
kalau posisi kepala almarhum ada di bagian depan. Para pelayat lain pun
bingung, memandang ke arah Ustadz Khalid.
“Dibalik saja,“ suruh Ustadz Khalid.
Tiga orang kemudian serempak membetulkan posisi mayat
Sumadi, dan dengan segera memutar posisi kaki almarhum ada di sebelah Selatan.
Tetapi, begitu mayat mau dimasukkan ke liang lahat, kembali keanehan terjadi.
Dengan sendirinya, posisi mayat Sumadi terbalik seperti tadi.
Kejadian itu, tentunya, membuat keluarga almarhum
terpukul, terutama istri dan sanak keluarga terdekat. Tapi apa boleh dikata,
demikianlah rahasia Ilahi yang harus kita terima, yang bisa dijadikan proses
pembelajaran bagi orang-orang yang masih hidup di dunia ini.
“Balik lagi,” pinta Ustadz Khalid, setelah para pelayat
bingung dan mulai panik dengan kejadian yang nyaris tidak terduga dan
disangka-sangka tersebut.
Tiga orang kemudian serempak membetulkan posisi mayat
Sumadi, dan dengan segera memutar posisi kaki almarhum ada di sebelah Selatan.
Untung, kali ini tidak ada lagi hal yang janggal sebagaimana kejadian semula.
Akhirnya jenazah Sumadi pun segera dimasukkan ke liang lahat.
Dari cerita atau iktibar ini, saya berharap orang lain
bisa mengambil hikmah atau pelajaran yang ada dalam kisah nyata ini, bahwa kita
tidak boleh main-main dengan ucapan maupun perbuatan, apalagi pada hari-hari
besar Islam seperti hari raya Idul Fitri yang baru saja kita lewatkan .
Follow us https://twitter.com/majalahpedulium Like us Majalah Peduli Umat
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !